Saturday, February 29, 2020

Kadung Hamil, Senyum!


Seorang ibu berusia akhir 20-an datang ke praktek pribadi saya dengan keluhan mual dan muntah hebat di sertai sesak. Ibu ini bercerita bahwa sesak yang dirasakan teramat berat dan rasanya mau mati, bahkan ibu ini datang sambil menangis. Sedangkan suaminya tampak selalu berusaha untuk menenangkan istrinya yang kelihatan panik. Ibu tersebut kemudian saya baringkan di meja periksa sambil pelan-pelan saya tanyakan apa masalahnya. Karena saya dokter kandungan, data persalinan sebelumnya juga saya korek. Ibu ini sedang hamil yang ketiga, dimana anak pertamanya meninggal karena kelainan jantung, anak keduanya lahir dengan operasi Sesar dan saat ini anak tersebut masih berusia dua tahun.

Dari data singkat tersebut, saya merasa menemukan clue mengapa ibu ini menangis dan merasa mau mati.

Setelah memastikan bahwa secara fisik ibu ini dalam kondisi stabil, saya mulai melakukan pemeriksaan USG janin, dan dipastikan ibu ini hamil yang ketiga dengan janin yang baik berusia 11 minggu. Selama saya melakukan USG, beberapa kali ibu ini mual.

Selesai melakukan USG, saya minta ibu itu untuk kembali duduk di kursi dan saya ajak bercerita. Saya jelaskan bahwa dari hasil pemeriksaan semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Sesekali ibu tersebut menyeka air matanya.

Dengan sedikit tersenyum saya memberanikan membuka pertanyaan,

“Maaf ya pak, bu, apakah kehamilan ini direncanakan?”

Seketika ibu itu menangis kembali dan berucap “iya dok, kehamilan ini tidak kami rencanakan dan saya sebetulnya belum siap punya anak lagi”

Suami ibu itu hanya tersenyum kecil sambil memegang tangan istrinya.

Ketemu sumber masalahnya.

“Begini bu, kehamilan ibu pada akhirnya sudah terjadi dan sebagai orang tua, bapak dan ibu wajib menjaga kehamilan ini. Apapun yang terjadi pada ibu baik fisik maupun psikis akan memiliki dampak terhadap bayinya”, ucap saya saat itu.

“Secara fisik ibu baik-baik saja. Tidak ada yang perlu ibu khawatirkan. Semua keluhan yang ibu rasakan muncul karena ibu memiliki rasa penolakan terhadap kehamilan ibu dan sebaiknya tidak seperti itu”, saya mencoba memberikan pemahaman pada ibu itu.

“Ibu tidak sesak, ibu tidak mau mati, kalau ibu sesak atau mau mati, pasti ibu tidak bisa menangis apalagi sampai periksa ke klinik saya”, lanjut saya.

Tak lama ibu itu mulai tersenyum.

“Saya takut dok, anak saya masih kecil, saya juga ada rasa trauma yang belum usai akibat anak saya yang pertama meninggal”, akhirnya ibu itu mulai berani bercerita.

“Saya berulang kali mengatakan pada istri saya supaya tidak perlu terlalu dipikir dok”, suaminya mulai bercerita juga.

“Jadi begini pak, bu, ibu kan sudah hamil, dan sudah tidak mungkin lagi kita apa-apa kan. Janin ibu akan tumbuh. Sebaiknya kita fokus sama apa yang bisa kita kendalikan, yang paling penting adalah penerimaan terhadap kehamilan ini, dengan ibu menerima, maka ibu akan lebih plong. Janin ibu bukan lagi ibu anggap sebagai masalah tetapi rejeki”, sok jadi motivator nih saya.

“Iya dok, saya dan suami memang seharusnya menerima kehamilan ini, tapi ndak tau kenapa rasanya kok berat banget. Kadang saya merasa bersalah dan cemas dok. Bagaimana anak saya nanti? Apakah saya bisa membesarkannya dengan baik?” ibu itu mulai mengeluarkan uneg-unegnya. Suaminya hanya tersenyum.

“Coba ibu renungkan apa yang saya sampaikan tadi. Dengan penerimaan yang baik, maka ibu akan bisa menjaga kehamilan ini dengan baik pula. Ibu akan banyak makan, mualnya bisa berkurang, rajin kontrol dan nantinya akan ada bayi mungil baru yang lucu dan sehat”.

“Kalau ibu terus menolak, maka nanti malas-malasan menjaga kehamilan ini, kemudian lahir bayi yang bermasalah pula. Misalnya premature, berat lahir kecil, atau ada kecacatan yang justru akan menimbulkan masalah baru. Terutama biaya perawatan bayi yang sangat mahal. Justru tidak menyelesaikan masalah”.

Sesekali ibu tadi mengangguk paham. Pun suaminya.

“Ibu boleh meluapkan apa yang ibu rasakan ke orang yang ibu percaya. Orang tua misalnya. Bercerita akan membuat beban ibu berkurang”.

“Dan untuk bapak, mengajak istri tidak memikirkan apa-apa tidak akan membantu meringankan bebannya pak. Yang ada tambah jengkel. Cukup dengarkan apa yang istri bapak keluhkan, tidak perlu mengoreksi, menyalahkan atau me-logis-kan apa yang dirasakan istri. Cukup dengarkan dan ajak jalan-jalan”, saya coba mengajak bercanda.

Suami istri itu pun tertawa.

“Makasih ya dok, saya jadi lebih lega. Nanti saya mau bersalin sama dokter aja dok”

Nah.. cukup dengan mengajak bercerita dan bercanda, pasien menjadi pelanggan, eh maksud saya pasien menjadi lega dan percaya sama kita.

Moral of the story:
Rencanakan kehamilan dengan baik. Gunakan kontrasepsi.

No comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Dokter Kandungan praktek di RSUD dr. Soetomo, RS William Booth Surabaya, RS WIjaya