Seorang ibu berusia akhir 20-an datang ke
praktek pribadi saya dengan keluhan mual dan muntah hebat di sertai sesak. Ibu
ini bercerita bahwa sesak yang dirasakan teramat berat dan rasanya mau mati,
bahkan ibu ini datang sambil menangis. Sedangkan suaminya tampak selalu
berusaha untuk menenangkan istrinya yang kelihatan panik. Ibu tersebut kemudian
saya baringkan di meja periksa sambil pelan-pelan saya tanyakan apa masalahnya.
Karena saya dokter kandungan, data persalinan sebelumnya juga saya korek. Ibu
ini sedang hamil yang ketiga, dimana anak pertamanya meninggal karena kelainan
jantung, anak keduanya lahir dengan operasi Sesar dan saat ini anak tersebut
masih berusia dua tahun.
Dari data singkat tersebut, saya merasa
menemukan clue mengapa ibu ini menangis dan merasa mau mati.
Setelah memastikan bahwa secara fisik ibu ini
dalam kondisi stabil, saya mulai melakukan pemeriksaan USG janin, dan
dipastikan ibu ini hamil yang ketiga dengan janin yang baik berusia 11 minggu.
Selama saya melakukan USG, beberapa kali ibu ini mual.
Selesai melakukan USG, saya minta ibu itu untuk
kembali duduk di kursi dan saya ajak bercerita. Saya jelaskan bahwa dari hasil
pemeriksaan semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan.
Sesekali ibu tersebut menyeka air matanya.
Dengan sedikit tersenyum saya memberanikan
membuka pertanyaan,
“Maaf ya pak, bu, apakah kehamilan ini
direncanakan?”
Seketika ibu itu menangis kembali dan berucap
“iya dok, kehamilan ini tidak kami rencanakan dan saya sebetulnya belum siap
punya anak lagi”
Suami ibu itu hanya tersenyum kecil sambil
memegang tangan istrinya.
Ketemu sumber masalahnya.
“Begini bu, kehamilan ibu pada akhirnya sudah
terjadi dan sebagai orang tua, bapak dan ibu wajib menjaga kehamilan ini.
Apapun yang terjadi pada ibu baik fisik maupun psikis akan memiliki dampak
terhadap bayinya”, ucap saya saat itu.
“Secara fisik ibu baik-baik saja. Tidak ada
yang perlu ibu khawatirkan. Semua keluhan yang ibu rasakan muncul karena ibu
memiliki rasa penolakan terhadap kehamilan ibu dan sebaiknya tidak seperti
itu”, saya mencoba memberikan pemahaman pada ibu itu.
“Ibu tidak sesak, ibu tidak mau mati, kalau ibu
sesak atau mau mati, pasti ibu tidak bisa menangis apalagi sampai periksa ke
klinik saya”, lanjut saya.
Tak lama ibu itu mulai tersenyum.
“Saya takut dok, anak saya masih kecil, saya
juga ada rasa trauma yang belum usai akibat anak saya yang pertama meninggal”,
akhirnya ibu itu mulai berani bercerita.
“Saya berulang kali mengatakan pada istri saya
supaya tidak perlu terlalu dipikir dok”, suaminya mulai bercerita juga.
“Jadi begini pak, bu, ibu kan sudah hamil, dan sudah
tidak mungkin lagi kita apa-apa kan. Janin ibu akan tumbuh. Sebaiknya kita
fokus sama apa yang bisa kita kendalikan, yang paling penting adalah penerimaan
terhadap kehamilan ini, dengan ibu menerima, maka ibu akan lebih plong. Janin
ibu bukan lagi ibu anggap sebagai masalah tetapi rejeki”, sok jadi motivator
nih saya.
“Iya dok, saya dan suami memang seharusnya
menerima kehamilan ini, tapi ndak tau kenapa rasanya kok berat banget. Kadang
saya merasa bersalah dan cemas dok. Bagaimana anak saya nanti? Apakah saya bisa
membesarkannya dengan baik?” ibu itu mulai mengeluarkan uneg-unegnya. Suaminya
hanya tersenyum.
“Coba ibu renungkan apa yang saya sampaikan
tadi. Dengan penerimaan yang baik, maka ibu akan bisa menjaga kehamilan ini
dengan baik pula. Ibu akan banyak makan, mualnya bisa berkurang, rajin kontrol
dan nantinya akan ada bayi mungil baru yang lucu dan sehat”.
“Kalau ibu terus menolak, maka nanti
malas-malasan menjaga kehamilan ini, kemudian lahir bayi yang bermasalah pula.
Misalnya premature, berat lahir kecil, atau ada kecacatan yang justru akan
menimbulkan masalah baru. Terutama biaya perawatan bayi yang sangat mahal.
Justru tidak menyelesaikan masalah”.
Sesekali ibu tadi mengangguk paham. Pun suaminya.
“Ibu boleh meluapkan apa yang ibu rasakan ke
orang yang ibu percaya. Orang tua misalnya. Bercerita akan membuat beban ibu berkurang”.
“Dan untuk bapak, mengajak istri tidak
memikirkan apa-apa tidak akan membantu meringankan bebannya pak. Yang ada
tambah jengkel. Cukup dengarkan apa yang istri bapak keluhkan, tidak perlu
mengoreksi, menyalahkan atau me-logis-kan apa yang dirasakan istri. Cukup
dengarkan dan ajak jalan-jalan”, saya coba mengajak bercanda.
Suami istri itu pun tertawa.
“Makasih ya dok, saya jadi lebih lega. Nanti
saya mau bersalin sama dokter aja dok”
Nah.. cukup dengan mengajak bercerita dan
bercanda, pasien menjadi pelanggan, eh maksud saya pasien menjadi lega dan percaya
sama kita.
Moral of the story:
Rencanakan kehamilan dengan baik. Gunakan kontrasepsi.
No comments:
Post a Comment