Mengarungi Samudera, Menyelamatkan Anak Bangsa
Indonesia adalah sebuah arciphelago dengan jumlah pulau sebanyak 17 ribu pulau, berjajar dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote. Menurut data dari WWF Indonesia, 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan. Dengan kondisi seperti itu, butuh usaha ekstra untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama kesehatan, bagi penduduk Indonesia yang berada di pulau-pulau terluar yang jauh dari akses pemerintah. Universitas Airlangga, salah satu universitas terbaik di Indonesia, memiliki komitmen untuk mendharma baktikan ilmu demi kemanusiaan. Fakultas Kedokteran, sebagai fakultas tertua di Universitas Airlangga mem-prakarsai keinginan luhur tersebut. FK Unair telah menghasilkan ribuan dokter terbaik bangsa, tak lengkap rasanya bila ilmu yang diterima selama pendidikan hanya berguna bagi pasien yang berada di rumah sakit.
Dengan membawa nama baik almamater, Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga dibangun atas keinginan luhur para dokter alumni FK Unair untuk berbakti sosial di pulau-pulau terluar Indonesia. Menyentuh nurani, mengobati penyakit para penduduk yang jauh dari akses pelayanan kesehatan. Ya, seperti tag line-nya mengarungi samudera, menyelamatkan anak bangsa.
Penulis berkesempatan mengikuti pengalaman yang sangat berharga mengikuti kegiatan bakti sosial yang diadakan oleh RS Terapung Ksatria Airlangga. Bakti Sosial kali ini diadakan di pulau Pagerungan Besar, suatu pulau di perairan Madura dimana secara wilayah masih termasuk Kabupaten Sumenep. Satu hal yang menjadi perhatian adalah sulitnya mencapai pulau tersebut. Akses yang bisa digunakan adalah jalur laut.
Bila dilihat dari peta, pulau Pagerungan Besar berada di sisi timur pulau Kangean, butuh 2 kali jalur laut untuk mencapai pulau tersebut. Tim Bakti Sosial RS Terapung Ksatria Airlangga berngkat tanggal 8 April 2019 pukul 01.00 dari Kampus A tercinta menggunakan bus. Terdiri dari spesialis bedah, spesialis obstetri dan ginekologi, residen pediatri, residen bedah, residen obgin, dokter umum, dokter gigi, perawat anestesi, perawat kamar operasi, tim farmasi, ahli obat tradisional dan tim dari dinas kesehatan provinsi Jawa Timur.
Ketua tim saat itu adalah dr. Henry Wibowo, SpAnd, seorang dokter yang telah berpengalaman melakukan bakti sosial lintas pulau. Perjalanan dari Surabaya menuju Sumenep kami tempuh selama 6 jam, di Sumenep kami menuju pelabuhan Kalianget. Tiba di pelabuhan Kalianget, kami masih harus menggunakan transportasi laut menuju pulau Kangean, dengan menggunakan kapal express, kami tempuh perjalanan tersebut selama 4 jam. Sedikit informasi, bila menggunakan kapal ferry, perjalanan yang ditempuh bisa 10 jam.
Tiba di pulau Kangean, kami menuju Puskesmas Arjasa untuk sekedar ishoma. Disana kami disambut dengan sangat baik oleh tim Puskesmas Arjasa. Selepas ishoma, dengan menggunakan beberapa mobil, kami menuju ke pelabuhan Kayuaru. Dua jam perjalanan darat yang kami tempuh, dengan ‘ombak’ yang lebih hebat dari perjalanan laut. Ya, kondisi jalan menuju pelabuhan Kayuaru sangat memprihatinkan. Jalan berlubang, genangan air, dan suara badan mobil yang mengenai batu kerap terasa sepanjang perjalanan. Enam kali ganti presiden, pernah kah satu orang yang ke pulau ini?
Lelah di perjalanan terbayar dengan keindahan rahmat Tuhan YME, hamparan laut dengan pasir putihnya seolah mengobati dahaga akan keindahan alam di era digital seperti sekarang. Sungguh, kita tak lebih dari sebutir pasir di tengah anugerah mahamegah dari Sang Pemilik alam. Tak menyia-nyia kan waktu yang hanya sebentar, beberapa dari kami melakukan foto dan swafoto untuk kenang-kenangan. Kami melanjutkan perjalanan dari dermaga Kayuaru ke Pulau Pagerungan Besar dengan menggunakan kapal motor, perjalanan kami tempuh selama empat jam. Syukur alhamdulillah, cuaca saat itu sangat bersahabat. Canda dan tawa tim bakti sosial berhasil membunuh waktu selama di kapal. Tanpa hambatan berarti kami tiba di Pulau Pagerungan Besar pukul 21.30. Total perjalanan dari Surabaya kami tempuh selama kurang lebih 20 jam.
Sambutan penduduk sangat hangat, meskipun kondisi medan saat itu cukup gelap karena terkendala pasokan listrik yang tidak merata di semua area pulau, penerangan dari lampu motor, lampu senter dan flashlight dari HP cukup membantu menerangi jalan. Dengan menggunakan kendaraan seadanya, termasuk odong-odong yang sebenarnya adalah tricycle yang digunakan sebagai kendaraan niaga di Pulau Pagerungan. Singkat cerita, kami disambut dengan hangat oleh kepala desa dilanjutkan makan malam kemudian istirahat. Bersiap untuk mengamalkan ilmu besok. Menurut informasi, sudah lebih dari 20 pasien bedah rencana operasi, 20 pasien obsgin, dan tak kurang dari 200 pasien pediatri dan dewasa.
Pagi setelah sarapan, tim membagi diri sesuai jobdesc dan kompetensi. Tim bedah dan anestesi, siap di kamar operasi untuk melakukan operasi. Sejawat pediatri, dokter gigi dan dokter umum melayani masyarakat di puskesmas pembantu, begitu pula tim obgyn. Dalam bidang obsgin, kami melayani 39 pasien. Satu hal yang cukup menarik, memang pulau ini termasuk pulau diperairan Madura, dan masih termasuk Kabupaten Sumenep, akan tetapi Bahasa daerah yang digunakan di Pulau Pagerungan Besar adalah Bahasa Bajo, Bahasa daerah Sulawesi Selatan. Penulis sempat kebingungan dengan Bahasa yang digunakan, menurut penduduk setempat, selain suku Madura, ada juga penduduk asli Sulawesi Selatan yang bermigrasi dan menetap di Pulau Pagerungan Besar. Selain itu, pengaruh Islam sangat kuat di Pulau dengan jumlah penduduk kurang lebih 5000 penduduk ini. Pemeriksaan dalam adalah hal dasar yang dilakukan oleh dokter kandungan, tim obgyn beberapa kali mengalami penolakan pemeriksaan dalam dari pasien walaupun sudah dilakukan edukasi secara mendalam. Kami memilih untuk tetap menggunakan prinsip etika kedokteran, autonomy, untuk menghormati keputusan pasien. Setelah melakukan pemeriksaan dengan bantuan USG dari RSTKA, kami dapatkan beberapa kasus menarik ditilik dari sisi obstetric sosial, yang pertama adalah ibu berusia 45 tahun hamil 29 minggu dengan hidrosefalus dengan BPD janin 10,4 cm dan ibu kehamilan kedua dengan kehamilan kembar yang baru diketahui. Saat kami informasikan kondisi yang terjadi pada bayinya kepada pasien, bahwa diperlukan rujukan ke RS yang lebih besar dengan fasilitas operasi dan tim yang memadai, tampak raut muka yang sendu. Mereka membayangkan betapa beratnya hal tersebut, terutama dari segi biaya. Lebih menarik lagi, saat kami informasikan untuk periksa ke RS Sumenep, mereka lebih memilih ke Bali, karena dari jarak tempuh, perjalanan ke Bali lebih cepat dan ringkas daripada harus ke Sumenep. Karena ke Bali hanya butuh satu kali perjalanan laut dengan waktu tempuh 6-7 jam, dibandingkan ke Sumenep yang butuh transit ke pulau Kangean dan memakan waktu hingga 20 jam perjalanan. Selain dua kasus tadi, satu pasien yang harus dilakukan operasi bedah Caesar dengan indikasi letak lintang, dan pasien dengan abortus inkomplit yang harus dilakukan kuretase. Pengalaman pertama bagi kami tim obgyn, operasi di kapal kebanggaan, RS Terapung Ksatria Airlangga.
dr. Rizki Pranadyan SpOG dan dr. M. Dimas (PPDS Obgin) melakukan operasi Caesar di RSTKA
Sore hari setelah pelayanan, kami melakukan kuretase dan operasi Caesar tanpa hambatan berarti, bayi lahir langsung menangis. Goyangnya kapal karena ombak memberikan sensasi yang berbeda daripada operasi di darat. Profesionalitas, kesigapan tim, serta kualitas sterilitas tak berbeda dengan operasi di rumah sakit di darat. Total selama bakti sosial, tim melakukan 25 operasi bedah dan 2 tindakan obgin, tak kurang dari 300 pasien pelayanan pengobatan gratis. Kegiatan pelayanan dan operasi pada hari itu berakhir pukul 22.00. Ada rasa bangga, puas dan syukur yang tak ternilai. Mengharumkan nama almamater Unair demi kemanusiaan tanpa memandang apapun.
Setelah bakti sosial usai, kami mengadakan acara sarasehan dengan tokoh masyarakat setempat. Acara dilakukan di dek atas kapal RSTKA. Acara ini bertujuan untuk memediasi harapan masayarakat Pagerungan Besar melalui tim dari dinkes provinsi untuk kelanjutan pelayanan kesehatan di pulau tersebut.
Terima kasih Unair, terima kasih Ksatria Airlangga. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.
mdap, 2019
No comments:
Post a Comment