Saturday, June 8, 2013

Dha'kandha'an Polo Mandangin



Sebuah pulau di selatan pulau Madura, padat penduduk, kaya akan sumber daya dan hasil laut, berpotensi menjadi tempat wisata, namun sekan tak terurus. Nama lain Pulau Mandangin adalah Pulau Kambing dan ada juga yang menyebut Gilih.  Pulau Mandangin itulah nama resminya, Pulau Kambing adalah nama alias karena populasi kambing di pulau ini luar biasa banyak, Gilih hanyalah penyebutan yang salah kaprah karena secara tekstual, Gilih berasala dari kata Gili yang artinya Pulau. Seperti Gili Trawangan di Lombok, kemungkinan besar awal kata Gilih berasal dari frase Gili Mandangin yang artinya Pulau Mandangin. Namun karena kebiasaan masyarakat memperpendek penyebutan untuk memudahkan berkomunikasi, akhirnya yang digunakan hanya kata Gili, mendapat tambahan huruf H karena bahasa Madura.

Untuk mencapai Pulau Mandangin harus menggunakan sarana transportasi air berupa perahu dan menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam. Pengalaman penulis, kira-kira setengah jam di sungai, satu jam di laut. Tak jarang ombak besar –kira-kira dua sampai tiga meter- membuat kapal terombang-ambing di tengah laut dan memberikan sensasi kurang menyenangkan pada perut (baca: mabuk laut).





Masyarakatnya ramah dan bersahabat. Bila orang luar melihat Madura terkenal dengan caroknya, kasus carok di Mandangin hampir tidak ada. Terakhir kali ada carok yang melibatkan orang Mandangin terjadi di awal tahun 90an, setelah itu nihil. Yang menarik dari penduduk pulau Mandangin ini adalah yang wanita lebih keras suaranya daripada penduduk prianya. Perbedaan volume suara antara pria dan wanita Mandangin sangat kontras. Sebagian besar penduduk pria Pulau Mandangin yang saya temui sifatnya halus, terkesan pemalu bahkan suaranya kadang hampir tak terdengar. Beda dengan wanitanya yang lebih ceplas-ceplos dan loud speaker dengan logat khasnya.

Banyak hal menarik yang saya perhatikan di Pulau Mandangin ini, masalah-masalah mendasar yang seharusnya dapat dihindari mengingat letaknya tak jauh dari pusat kota. Yang paling mencolok adalah masalah kebersihan. Pengalaman saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Mandangin, rasanya berat untuk menapakkan kaki di tanah Mandangin. Laut yang penuh sampah, kotoran manusia bersebelahan dengan kotoran kambing, serta bau khas daerah pesisir cukup membuat saya stress. Idealnya setiap daerah memiliki petugas kebersihan untuk menjaga lingkungan tetap bersih, bagaimana di Pulau Mandangin? Nol. Ya, sebuah pulau yang tak jauh dari kota Sampang ternyata sama sekali tidak memiliki petugas kebersihan. Kemana tumpukan sampah mereka berlabuh? Beberapa dibiarkan berserakan di jalan, beberapa dibakar, sisanya ke laut! Tak bisa dibayangkan bagaimana nasib biota laut Mandangin bertahun-tahun habitatnya dirusak oleh manusia. Rasanya tidak mungkin pemerintah dan DKP Kabupaten Sampang tidak mengetahui hal ini. Mungkin solusi gampangnya adalah mempekerjakan penduduk asli Mandangin untuk menjadi petugas kebersihan, tentunya dengan upah yang layak. Lebih penting dari itu adalah merubah perilaku dan kebiasaan penduduk Mandangin yang suka membuang sampah ke laut tanpa pikir panjang menjadi pribadi yang sadar akan kebersihan dan kesehatan. Selain kebersihan laut, masalah kebersihan sekolah di Mandangin rasanya juga sangat perlu mendapat perhatian yang serius. Sekolah adalah tempat anak-anak menuntut ilmu dan belajar ilmu perilaku secara langsung maupun tidak langsung dari lingkungan dan guru mereka. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang bersih pasti akan mencetak generasi yang peduli dengan kebersihan. Kebersihan lingkungan adalah poin penting untuk membuat pulau Mandangin menjadi lebih baik, lebih berdaya guna, layak ditinggali dan mungkin bisa jadi salah satu aset wisata Kabupaten Sampang.



Diawal paragraf tadi telah saya sebutkan bahwa nama Pulau Kambing bermula dari populasi kambing di pulau ini yang luar biasa banyak, benarkah? No question about it! Saya besar di Sampang dan sudah biasa melihat kambing berkeliaran di jalan tanpa ada gembalanya, tetapi apa yang terjadi di pulau ini membuat saya terheran-heran. Dimana-mana ada kambing, di tepi laut, di tanah kosong, di jalan-jalan utama, di jalan-jalan pintas, bahkan di rumah penduduk. Dan setiap ada sekumpulan kambing jumlahnya minimal 5-6 ekor, mulai dari yang kecil hingga yang besar, dimana setiap kelompok hanya berjarak 5-10 meter, bisa dibayangkan betapa “kambingnya” pulau ini. Beberapa kambing di cat di ekor atau badannya mungkin sebagai tanda oleh pemiliknya. Tak heran bila sepanjang jalan di Mandangin akan tercium bau kurang sedap yang berasal dari kotoran kambing. Dan dengan populasi kambing yang sebanyak itu, sampai saat ini saya belum mendengar produk kambing yang berasal dari pulau Mandangin. Saya merasa ratio kambing dan manusia di pulau ini telah mencapai angka yang kurang sehat, mungkin sudah saatnya penerapan KB untuk kambing di pulau ini atau tindakan lain dari dinas peternakan.

Pulau Mandangin sebenarnya kaya akan hasil laut, ada ikan, cumi-cumi, udang dan rajungan. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan. Hasil laut yang mereka dapat akan dijual ke luar Mandangin, bahkan menurut nelayan rajungan yang saya temui, dia biasa menjual hasil tangkapannya hingga ke luar jawa bahkan Malaysia. Adakah sentra perdagangan / pasar hasil laut di Mandangin? Tidak ada! Lebih tepatnya lagi tidak ada pasar di pulau ini! Selain itu hasil laut yang demikian melimpahnya kurang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk membikin usaha kecil berupa olahan laut semacam krupuk udang, terasi udang, petis dan olahan lainnya. Bisa juga dimanfaatkan untuk membuat kerajinan tangan yang berasal dari limbah laut seperti kulit kerang dan pasir laut. Dengan demikian Mandangin bisa memiliki daya tarik tersendiri dan memiliki nilai lebih. Harapannya status sosial ekonomi penduduk pulau ini bisa terangkat. Saya belum dapat informasi apakah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sampang telah melihat potensi besar ini.

Bagaimana dengan sektor pendidikan?
Pulau Mandangin memiliki tiga buah PAUD, sembilan Sekolah Dasar, tiga MI, satu SMP, tiga MTs, dan satu SMK. Tenaga pengajar sebagian besar dari luar Pulau Mandangin. Beberapa permasalahan yang terjadi di sektor pendidikan Pulau Mandangin adalah kebersihan sekolah yang tidak terurus, guru yang sebagian besar dari luar Mandangin kadang tidak datang bila cuaca tidak bersahabat, atau setelah sampai di Mandangin ternyata mabuk laut, akibatnya proses belajar mengajar menjadi terganggu. Satu hal menarik dari sektor pendidikan adalah jam belajar murid SD yang hanya 2 jam, jam 08.00 WIB masuk kelas, jam 10.00 WIB pulang sekolah. Untuk kelas 5 dan 6 jam 11.00 WIB baru pulang. Padahal di Sampang saja, murid kelas 2 SD pulang sekolah jam 11.00 wib. Padahal pendidikan SD adalah yang terpenting dari semua jenjang sekolah. Anak usia sekolah dasar memorinya masih kuat, mereka akan mengingat sampai dewasa nanti apa yang mereka dapat di SD. Di SD-lah fondasi untuk membentuk kepribadian seseorang dimulai.
Sebenarnya pemuda dan pemudi Mandangin telah banyak yang mendapat pendidikan tinggi hingga jenjang kuliah, namun kebanyakan mereka bekerja di luar Mandangin. Kecuali yang bekerja di bidang kesehatan seperti bidan dan perawat yang memilih mengabdi di tanah kelahiran mereka.

Untuk sektor kesehatan, Pulau Mandangin memiliki dua Puskesmas Pembantu, Pustu I atau Pustu Timur dan Pustu 2 atau Pustu Barat. Yang masing-masing dipimpin oleh seorang perawat. Pustu ini adalah kepanjangan tangan dari Puskesmas Banyuanyar Kecamatan Sampang. Cerita yang beredar di masyarakat adalah, Pulau Mandangin tempat pembuangan penderita Lepra, padahal kenyataannya, selain Lepra ada juga Tuberculosis. Dua penyakit ber-genre Mycobacterial Infection itu menjadi topik hangat bagi mereka yang belum pernah ke Pulau Mandangin. Akan muncul pertanyaan “ca’en bennya’ oreng sake’ Lepra yeh e dissah?” (arti: “katanya disana banyak orang sakit Lepra ya?” atau “ba’na tak tako’ ealle’eh Lepra?” (arti: kamu tidak takut tertular Lepra?”).  Beberapa orang yang penulis temui bahkan enggan berlama-lama bergaul dengan penduduk pulau Mandangin karena stigma tersebut. Fakta di lapangan memang mendukung cerita tersebut. Lepra dan TBC merupakan penyakit endemis di Pulau dengan penduduk ± 20.000 tersebut. Menurut info terakhir, kasus baru untuk lepra dan TBC sudah tidak ditemukan lagi, yang banyak adalah kasus drop out pasien TBC yang enggan berobat teratur maupun morbiditas pasien lepra yang menurunkan kualitas hidup mereka. Adakah MDR-TB? Informasi terakhir yang saya dapat belum ada atau mungkin juga belum terdeteksi. Yang pasti petugas pustu telah berupaya keras untuk pengobatan dua penyakit ini. Kabar baik dari sektor kesehatan adalah, Pustu I akan dibangun dalam waktu dekat menjadi puskesmas induk sehingga pelayanan yang diberikan akan lebih komperehensif.

Beberapa waktu lalu telah berkunjung tim dari Universitas Airlangga dipimpin oleh Warek I Prof. Dr. H. Achmad Syahrani, MS., Apt yang membawa beberapa ahli, seperti dokter, psikolog, ahli sumber daya laut dan perikanan, ahli perpustakaan bekerja sama dengan Puskesmas Kecamatan Sampang yang dipimpin dr. Indah Nur Susanti untuk survey awal pilot project pemberdayaan masyarakat Pulau Mandangin. Mudah-mudah langkah awal ini akan berkelanjutan sehingga Pulau Mandangin menjadi lebih terurus dan lebih maju.



Satu hal menarik lain adalah, ketika hujan turun, apalagi bila hujan lebat saat jam sibuk, maka hampir semua instansi tutup. SD tutup karena guru yang tidak masuk atau seragam siswa yang basah kuyup atau hambatan jalanan yang becek. Pustu pun tutup karena hal serupa.

Mandangin memang tak sedap dipandang, namun bila kita lebih dari sekedar memandang, Mandangin memiliki aset segudang.

.::mdap2012::.

3 comments:

  1. assalamulaikum...ini saya anak mandangin. saya sekarang ngerjain skripsi masalah (Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) tentang penggunaan jamban terhadap kejadian diare di pulau mandangin). minta tolong jabarkan kebiasaan BAB-jamban-diare. yg dapet terjadi diare. terimakasih..
    wassalam....

    ReplyDelete
  2. Sebagai orang yg memiliki leluhur orang mandangin, saya merasa iba pada pulau potensial ini. Masalahnya banyak pemuda yg kurang memilih memajukan potensi Sumber Daya Alam tanah kelahirannya sebagai bekal hidup anak cucu yg akan datang. Emang bener, bahwa satu2nya cara adalah Pemerintah Sampang harus segera turun tangan memoles Pulau ini agar mereka tidak memilih bekerja diluar Mandangin.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Dokter Kandungan praktek di RSUD dr. Soetomo, RS William Booth Surabaya, RS WIjaya