Sebuah pulau di selatan pulau
Madura, padat penduduk, kaya akan sumber daya dan hasil laut, berpotensi
menjadi tempat wisata, namun sekan tak terurus. Nama lain Pulau Mandangin
adalah Pulau Kambing dan ada juga yang menyebut Gilih. Pulau Mandangin itulah nama resminya, Pulau
Kambing adalah nama alias karena populasi kambing di pulau ini luar biasa
banyak, Gilih hanyalah penyebutan yang salah kaprah karena secara tekstual,
Gilih berasala dari kata Gili yang artinya Pulau. Seperti Gili Trawangan di
Lombok, kemungkinan besar awal kata Gilih berasal dari frase Gili Mandangin
yang artinya Pulau Mandangin. Namun karena kebiasaan masyarakat memperpendek
penyebutan untuk memudahkan berkomunikasi, akhirnya yang digunakan hanya kata
Gili, mendapat tambahan huruf H karena bahasa Madura.
Untuk mencapai Pulau Mandangin
harus menggunakan sarana transportasi air berupa perahu dan menempuh perjalanan
selama kurang lebih satu setengah jam. Pengalaman penulis, kira-kira setengah
jam di sungai, satu jam di laut. Tak jarang ombak besar –kira-kira dua sampai
tiga meter- membuat kapal terombang-ambing di tengah laut dan memberikan
sensasi kurang menyenangkan pada perut (baca: mabuk laut).
Masyarakatnya ramah dan
bersahabat. Bila orang luar melihat Madura terkenal dengan caroknya, kasus
carok di Mandangin hampir tidak ada. Terakhir kali ada carok yang melibatkan
orang Mandangin terjadi di awal tahun 90an, setelah itu nihil. Yang menarik
dari penduduk pulau Mandangin ini adalah yang wanita lebih keras suaranya
daripada penduduk prianya. Perbedaan volume suara antara pria dan wanita
Mandangin sangat kontras. Sebagian besar penduduk pria Pulau Mandangin yang
saya temui sifatnya halus, terkesan pemalu bahkan suaranya kadang hampir tak
terdengar. Beda dengan wanitanya yang lebih ceplas-ceplos dan loud speaker dengan logat khasnya.
Banyak hal menarik yang saya
perhatikan di Pulau Mandangin ini, masalah-masalah mendasar yang seharusnya
dapat dihindari mengingat letaknya tak jauh dari pusat kota. Yang paling mencolok
adalah masalah kebersihan. Pengalaman saya ketika pertama kali menginjakkan
kaki di Mandangin, rasanya berat untuk menapakkan kaki di tanah Mandangin. Laut
yang penuh sampah, kotoran manusia bersebelahan dengan kotoran kambing, serta
bau khas daerah pesisir cukup membuat saya stress. Idealnya setiap daerah memiliki
petugas kebersihan untuk menjaga lingkungan tetap bersih, bagaimana di Pulau
Mandangin? Nol. Ya, sebuah pulau yang tak jauh dari kota Sampang ternyata sama
sekali tidak memiliki petugas kebersihan. Kemana tumpukan sampah mereka
berlabuh? Beberapa dibiarkan berserakan di jalan, beberapa dibakar, sisanya ke
laut! Tak bisa dibayangkan bagaimana nasib biota laut Mandangin bertahun-tahun
habitatnya dirusak oleh manusia. Rasanya tidak mungkin pemerintah dan DKP
Kabupaten Sampang tidak mengetahui hal ini. Mungkin solusi gampangnya adalah
mempekerjakan penduduk asli Mandangin untuk menjadi petugas kebersihan,
tentunya dengan upah yang layak. Lebih penting dari itu adalah merubah perilaku
dan kebiasaan penduduk Mandangin yang suka membuang sampah ke laut tanpa pikir
panjang menjadi pribadi yang sadar akan kebersihan dan kesehatan. Selain
kebersihan laut, masalah kebersihan sekolah di Mandangin rasanya juga sangat
perlu mendapat perhatian yang serius. Sekolah adalah tempat anak-anak menuntut
ilmu dan belajar ilmu perilaku secara langsung maupun tidak langsung dari
lingkungan dan guru mereka. Oleh karena itu lingkungan sekolah yang bersih
pasti akan mencetak generasi yang peduli dengan kebersihan. Kebersihan
lingkungan adalah poin penting untuk membuat pulau Mandangin menjadi lebih
baik, lebih berdaya guna, layak ditinggali dan mungkin bisa jadi salah satu
aset wisata Kabupaten Sampang.
Diawal paragraf tadi telah saya
sebutkan bahwa nama Pulau Kambing bermula dari populasi kambing di pulau ini
yang luar biasa banyak, benarkah? No question about it! Saya besar di Sampang
dan sudah biasa melihat kambing berkeliaran di jalan tanpa ada gembalanya,
tetapi apa yang terjadi di pulau ini membuat saya terheran-heran. Dimana-mana
ada kambing, di tepi laut, di tanah kosong, di jalan-jalan utama, di jalan-jalan
pintas, bahkan di rumah penduduk. Dan setiap ada sekumpulan kambing jumlahnya
minimal 5-6 ekor, mulai dari yang kecil hingga yang besar, dimana setiap
kelompok hanya berjarak 5-10 meter, bisa dibayangkan betapa “kambingnya” pulau
ini. Beberapa kambing di cat di ekor atau badannya mungkin sebagai tanda oleh
pemiliknya. Tak heran bila sepanjang jalan di Mandangin akan tercium bau kurang
sedap yang berasal dari kotoran kambing. Dan dengan populasi kambing yang
sebanyak itu, sampai saat ini saya belum mendengar produk kambing yang berasal
dari pulau Mandangin. Saya merasa ratio kambing dan manusia di pulau ini telah
mencapai angka yang kurang sehat, mungkin sudah saatnya penerapan KB untuk
kambing di pulau ini atau tindakan lain dari dinas peternakan.
Pulau Mandangin sebenarnya kaya
akan hasil laut, ada ikan, cumi-cumi, udang dan rajungan. Sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai nelayan. Hasil laut yang mereka dapat akan dijual
ke luar Mandangin, bahkan menurut nelayan rajungan yang saya temui, dia biasa
menjual hasil tangkapannya hingga ke luar jawa bahkan Malaysia. Adakah sentra
perdagangan / pasar hasil laut di Mandangin? Tidak ada! Lebih tepatnya lagi
tidak ada pasar di pulau ini! Selain itu hasil laut yang demikian melimpahnya
kurang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk membikin usaha kecil berupa
olahan laut semacam krupuk udang, terasi udang, petis dan olahan lainnya. Bisa
juga dimanfaatkan untuk membuat kerajinan tangan yang berasal dari limbah laut seperti
kulit kerang dan pasir laut. Dengan demikian Mandangin bisa memiliki daya tarik
tersendiri dan memiliki nilai lebih. Harapannya status sosial ekonomi penduduk
pulau ini bisa terangkat. Saya belum dapat informasi apakah Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kabupaten Sampang telah melihat potensi besar ini.
Bagaimana dengan sektor
pendidikan?
Pulau Mandangin memiliki tiga
buah PAUD, sembilan Sekolah Dasar, tiga MI, satu SMP, tiga MTs, dan satu SMK.
Tenaga pengajar sebagian besar dari luar Pulau Mandangin. Beberapa permasalahan
yang terjadi di sektor pendidikan Pulau Mandangin adalah kebersihan sekolah
yang tidak terurus, guru yang sebagian besar dari luar Mandangin kadang tidak
datang bila cuaca tidak bersahabat, atau setelah sampai di Mandangin ternyata
mabuk laut, akibatnya proses belajar mengajar menjadi terganggu. Satu hal
menarik dari sektor pendidikan adalah jam belajar murid SD yang hanya 2 jam,
jam 08.00 WIB masuk kelas, jam 10.00 WIB pulang sekolah. Untuk kelas 5 dan 6
jam 11.00 WIB baru pulang. Padahal di Sampang saja, murid kelas 2 SD pulang
sekolah jam 11.00 wib. Padahal pendidikan SD adalah yang terpenting dari semua
jenjang sekolah. Anak usia sekolah dasar memorinya masih kuat, mereka akan
mengingat sampai dewasa nanti apa yang mereka dapat di SD. Di SD-lah fondasi
untuk membentuk kepribadian seseorang dimulai.
Sebenarnya pemuda dan pemudi
Mandangin telah banyak yang mendapat pendidikan tinggi hingga jenjang kuliah,
namun kebanyakan mereka bekerja di luar Mandangin. Kecuali yang bekerja di
bidang kesehatan seperti bidan dan perawat yang memilih mengabdi di tanah
kelahiran mereka.
Untuk sektor kesehatan, Pulau
Mandangin memiliki dua Puskesmas Pembantu, Pustu I atau Pustu Timur dan Pustu 2
atau Pustu Barat. Yang masing-masing dipimpin oleh seorang perawat. Pustu ini
adalah kepanjangan tangan dari Puskesmas Banyuanyar Kecamatan Sampang. Cerita
yang beredar di masyarakat adalah, Pulau Mandangin tempat pembuangan penderita
Lepra, padahal kenyataannya, selain Lepra ada juga Tuberculosis. Dua penyakit
ber-genre Mycobacterial Infection itu menjadi topik hangat bagi mereka yang belum
pernah ke Pulau Mandangin. Akan muncul pertanyaan “ca’en bennya’ oreng sake’
Lepra yeh e dissah?” (arti: “katanya disana banyak orang sakit Lepra ya?” atau
“ba’na tak tako’ ealle’eh Lepra?” (arti: kamu tidak takut tertular
Lepra?”). Beberapa orang yang penulis
temui bahkan enggan berlama-lama bergaul dengan penduduk pulau Mandangin karena
stigma tersebut. Fakta di lapangan memang mendukung cerita tersebut. Lepra dan
TBC merupakan penyakit endemis di Pulau dengan penduduk ± 20.000 tersebut. Menurut info
terakhir, kasus baru untuk lepra dan TBC sudah tidak ditemukan lagi, yang
banyak adalah kasus drop out pasien TBC yang enggan berobat teratur maupun
morbiditas pasien lepra yang menurunkan kualitas hidup mereka. Adakah MDR-TB?
Informasi terakhir yang saya dapat belum ada atau mungkin juga belum
terdeteksi. Yang pasti petugas pustu telah berupaya keras untuk pengobatan dua
penyakit ini. Kabar baik dari sektor kesehatan adalah, Pustu I akan dibangun
dalam waktu dekat menjadi puskesmas induk sehingga pelayanan yang diberikan
akan lebih komperehensif.
Beberapa waktu lalu telah
berkunjung tim dari Universitas Airlangga dipimpin oleh Warek I Prof. Dr. H. Achmad Syahrani, MS., Apt yang membawa beberapa ahli, seperti
dokter, psikolog, ahli sumber daya laut dan perikanan, ahli perpustakaan
bekerja sama dengan Puskesmas Kecamatan Sampang yang dipimpin dr. Indah Nur Susanti untuk survey awal pilot project
pemberdayaan masyarakat Pulau Mandangin. Mudah-mudah langkah awal ini akan
berkelanjutan sehingga Pulau Mandangin menjadi lebih terurus dan lebih maju.
Satu hal menarik lain adalah,
ketika hujan turun, apalagi bila hujan lebat saat jam sibuk, maka hampir semua
instansi tutup. SD tutup karena guru yang tidak masuk atau seragam siswa yang
basah kuyup atau hambatan jalanan yang becek. Pustu pun tutup karena hal
serupa.
Mandangin memang tak sedap
dipandang, namun bila kita lebih dari sekedar memandang, Mandangin memiliki
aset segudang.
.::mdap2012::.
assalamulaikum...ini saya anak mandangin. saya sekarang ngerjain skripsi masalah (Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) tentang penggunaan jamban terhadap kejadian diare di pulau mandangin). minta tolong jabarkan kebiasaan BAB-jamban-diare. yg dapet terjadi diare. terimakasih..
ReplyDeletewassalam....
Tulisan yang bagus....
ReplyDeleteSebagai orang yg memiliki leluhur orang mandangin, saya merasa iba pada pulau potensial ini. Masalahnya banyak pemuda yg kurang memilih memajukan potensi Sumber Daya Alam tanah kelahirannya sebagai bekal hidup anak cucu yg akan datang. Emang bener, bahwa satu2nya cara adalah Pemerintah Sampang harus segera turun tangan memoles Pulau ini agar mereka tidak memilih bekerja diluar Mandangin.
ReplyDelete