Ya Allah ampuni saya...
Suatu hari di rumah mertua saya, saya mendengar suara
qiroat/shalawat yang dilanjutkan dengan adzan Subuh berkumandang dengan
kerasnya melalui TOA masjid. Saat itu saya perkirakan pukul 03.00-03.30 wib. Kebetulan
masjid kampung tepat beberapa rumah di belakang rumah mertua saya. Sesaat
kemudian timbul pertanyaan nakal saya yang sedikit melibatkan iman.
Suara
adzan sekeras ini dengan beberapa penduduk yang non muslim apa tidak mengganggu
orang tidur ya? Apalagi hal ini dilakukan setiap hari.
Apa mereka yang
non-muslim tahan dengan TOA yang setiap subuh berbunyi dengan kerasnya?
Atau
sebenarnya mereka tidak tahan tetapi tidak ada pilihan lain selain pasrah?
Atau
karena mereka para penduduk non-muslim adalah minoritas disitu sehingga hanya
bisa pasrah mengikuti suara mayoritas?
Apakah mereka melakukan apa yang kita
sebut toleransi?
Lalu bagaimana toleransi muslim untuk mereka?
Semakin jauh renungan saya...
Sehari muslim shalat 5 kali, dan sebanyak itu pula TOA
masjid mengeluarkan suara keras untuk menandakan waktu shalat telah masuk. Dengan
penduduk kampung yang tidak semua muslim apakah adil bila setiap lima waktu shalat mereka “diganggu” dengan
suara TOA yang begitu keras, sementara mereka tidak ada urusan dengan itu? Bagaimana
kita para muslim menyikapi hal ini? Saya jadi membayangkan, seandainya ada salah satu kegiatan agama selain muslim
yang menggunakan TOA dikala Subuh setiap hari, apakah kita para muslim bisa menerima?
Sejauh manakah kita memakai kata toleransi... Astaghfirullah...
.::mdap2013::.
Beginilah suara yang jujur dari seorang non-muslim. Islam dan Kristianitas sama-sama agama pendatang di Indonesia. Tapi,bisa dikatakan Kristianitas relatif lebih "telat",baik soal waktu maupun perkembangan. Mau gimana lagi,dari segi jumlah saja kami kalah. Tapi,kamipun tiap hari membunyikan lonceng gereja untuk menandai waktu berdoa "Malaikat Tuhan" ataupun "Ratu Surga" di masa paskah. Demikian pula lonceng dibunyikan juga saat misa, Hari Raya Keagamaan, pernikahan orang2 tertentu, tirakatan malam Paskah, dan perayaan2 meriah lainnya. Nah,yang penting antara kelompok muslim dan non-muslim harus saling bertenggang-rasa. Mungkin yang diperlukan adalah pembatasan berapa desibel keras suara yang diperbolehkan dan berapa lama speaker masjid boleh bersuara. Sering kita jumpai saat sembahyang subuh,pagi buta, sehabis/sebelum azan subuh, eh, masih ada puji2an yang bisa berlangsung sampai hampir 30 menit. Tentu ini mengganggu,ga hanya umat non-muslim, tapi juga orang tua, orang sakit, orang yang perlu tidur dan istirahat karena kecapekan,dsb.
ReplyDeleteAlbert Hartono
Peziarahdunia.wordpress.com
Aku juga setuju sama usulmu, ada pembatasan desibel suara dan durasi.. sehingga tidak ada penduduk yang merasa terganggu.. tinggal gimana caranya mengatur desibelnya itu biar seragam...
ReplyDelete