Setiap tanggal 21 April, kata emansipasi wanita terdengar dimana-mana, tertulis dalam media-media cetak, tergambar dalam poster atau baliho di pinggir jalan dan di zaman sekarang mungkin terpampang dalam status-status pemilik akun social network. Emansipasi wanita tak lepas dari peran seorang wanita kelahiran 21 April 1879 di Jepara yang bernama Raden Ajeng Kartini. Menurut sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, peran R. A Kartini dalam memperjuangkan hak-hak wanita sangatlah besar, sehingga wanita mendapat “tempat” yang sama dengan pria. Benarkah demikian?
R.A Kartini adalah seorang keturunan priyayi yang dalam pergaulan sehari-harinya lebih sering berdiskusi dengan orang Belanda daripada dengan kaum pribumi. Bahkan, Kartini menjadi terkenal bukan karena tindakan-tindakan nyata yang dia lakukan untuk memajukan kaum perempuan pribumi, melainkan akibat inisiatif salah seorang sahabatnya E.C.Abendanon, seorang Belanda keturunan Yahudi yang pada kala itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan untuk mengumpulkan surat-surat Kartini kepadanya yang berisi banyak hal tentang cita-cita dan harapannya terhadap nasib kaum perempuan pribumi. Seandainya E. C. Abendanon yang saat itu dipanas-panasi oleh Snouck Hurgronje seorang Yahudi Belanda tidak menerbitkan surat-surat Kartini, maka mustahil tanggal 21 April menjadi hari bersejarah bagi Indonesia, bahkan kenal Kartini pun tidak. Dari situ kita ketahui bahwa penokohan Kartini sebagai seorang pahlawan bukan karena perjuangannya yang benar-benar memperjuangkan kaum perempuan, melainkan karena “jasa” orang Belanda mempublikasikan surat-suratnya. Apa tujuannya? Meruntuhkan Islam. Snouck beranggapan kekuatan Islam dapat mengancam pemerintahan VOC yang berakar pada persaudaraan Vrijmetselarij atau yang lebih dikenal dengan nama Freemason atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama Kemasonan. Oleh karena itu, untuk melunakkan perjuangan Islam, Snouck berusaha memasukkan peradaban Barat ke dalam bangsa pribumi. Tidak mungkin membaratkan rakyat kalau ningratnya tidak dibaratkan terlebih dahulu. Untuk tujuan itu, langkah pertama yang ditempuh Snouck adalah mendekati kalangan ningrat yang Islamnya kuat untuk kemudian dibaratkan. Snouck menyuruh Abendanon untuk membaratkan Kartini.
Bagaimana Agama Kartini sebenarnya?
Banyak pengamat sejarah mengatakan bahwa Kartini adalah seorang penganut Theosofi, yaitu suatu paham yang beranggapan bahwa semua agama sama benar dan menuju pada Tuhan yang sama. Secara terminologi, Theosofi berasal dari kata Theos (Tuhan) dan Sophia (bijaksana), arti Tuhan dalam pemahaman Theosofi bukanlah “Satu”, tetapi segala hal yang dianggap “Tuhan”. Oleh karena itu, Tuhan dalam pemahaman Theosofi beragam bentuknya, tergantung masing-masing penganutnya. Dalam theosofi Allah=Yahweh=God=etc... Pemikiran Kartini yang terpengaruh Theosofi dapat dilihat dari surat-suratnya yang dikirimkan kepada E. C. Abendanon berikut ini:
15 Agustus 1902
“Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang akan menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia”
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan,adalah bunyi tanpa makna.”
31 Januari 1903
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain.”
"Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.”
Kemudian surat Kartini pada Dr. N. Andriani (seorang penginjil) pada tanggal 5 Juli 1903:
“Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu, jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa”.
Dari surat-surat tersebut, bukan suatu hal yang mustahil bila Kartini menganut aliran Kebatinan maupun theosofi, atau paling tidak pola pikirnya terpengaruh theosofi yang mengarah ke pluralisme. MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa sesat terhadap paham pluralisme, hal ini disebabkan karena paham pluralisme akan membuat nilai-nilai kemanusiaan lebih superior daripada agama itu sendiri sehingga pada tingkatan yang terburuk dapat mengakibatkan terciptanya negara sekuler. Selain itu, banyak pula yang mengatakan bahwa Kartini adalah seorang pembela Islam karena menolak upaya kristenisasi yang saat itu gencar dilakukan oleh gereja. Hal tersebut mengacu pada surat Kartini pada Nyonya Abendanon berikut ini,
31 Januari 1903
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending? Jika bermaksud baik atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi…bagi orang Islam melepaskan keyakinan sendiri untuk memluk agama lain merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?”
Zending adalah sebuah upaya penyebaran agama Kristen.
Surat tersebut seolah-olah pembelaan Kartini terhadap Islam, namun bila membaca lebih teliti isi surat yang lain pada tanggal yang sama, Kartini bukanlah membela Islam secara khusus, tetapi menolak dominasi satu agama entah itu Islam, Kristen ataupun yang lain.
Lebih lanjut lagi membahas Kartini adalah tentang buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Banyak orang mengatakan bahwa judul buku Kartini terinspirasi dari ayat Al-Quran
“Minazhulumaat Ilaannuur”. Buku ini terbit pada tahun 1917, jauh hari setelah Kartini wafat pada tahun 1904. Pada awalnya buku ini diterbitkan oleh Kartini Fonds di Belanda dengan judul Door Duisternis tot Licht, kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane seorang anggota Theosofi dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Jadi jelas bahwa yang “terinspirasi” bukanlah Kartini melainkan Armijn Pane, sementara judul asli yang berbahasa Belanda sampai sekarang tidak diketahui buatan siapa, apakah Kartini sendiri atau orang Belanda.
Selain itu, kedekatan Kartini dengan Belanda justru membuatnya ingin melanjutkan pendidikannya ke Belanda, walaupun akhirnya rencana itu gagal karena tidak direstui ayahnya dan nasehat dari E. C. Abendanon, sahabatnya, untuk tetap tinggal di Jepara. Bila Kartini memang benar-benar memperjuangkan kaum perempuan pribumi, tidak logis rasanya kalau dia justru tertarik belajar ke negeri penjajah negerinya sendiri. Berikut ini isi suratnya kepada Ny. Ovinksoer pada tahun 1900,
“Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland (Belanda), karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih”.
Penokohan Kartini oleh bangsa Indonesia sebagai seorang yang memperjuangkan kaum wanita sebenarnya menurut penulis kurang pas. Karena tidak ada tindakan-tindakan nyata yang dilakukan Kartini untuk memperjuangkan apa yang sekarang kita sebut sebagai “emansipasi wanita”. Kartini terkenal justru setelah dia meninggal karena surat-suratnya kepada orang Belanda yang dipublikasikan oleh Belanda. Harsja Bachtriar dalam salah satu tulisannya dalam Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu mencatat: "Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut."
Berbeda dengan beberapa pahlawan wanita yang benar-benar memperjuangkan Indonesia seperti Cut Nyak Dien yang tak pernah mau tunduk pada Belanda, sementara Kartini justru menjadikan Belanda sebagai tujuannya. Bahkan bila melihat perjuangan Cut Nyak Dien, Cut Meuthia dan Pecut Baren dari Aceh, maka klaim-klaim keterbelakangan kaum perempuan pada masa Kartini harus digugurkan. Kemudia Dewi Sartika, dibandingkan dengan Kartini yang hanya berupa ide-ide, Dewi Sartika mewujudkan perjuangannya memajukan kaum perempuan lewat sekolah yang didirikannya di Bandung yang bernama Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1910. Ada juga Rohana Kudus yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia pada tahun 1911 dan Rohana School pada tahun 1916 , bahkan Rohana Kudus tercatat sebagai jusrnalis pertama wanita di Indonesia. Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas, "Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan," begitu kata Rohana Kudus.
Begitulah kilas balik sejarah R. A Kartini yang mungkin tidak tercantum di buku-buku sejarah di sekolah. Karena sejarah ditulis oleh pemenang.
.:: mdap2012::.
No comments:
Post a Comment